Sabtu, 23 April 2016

KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN MADARASAH

MAKALAH
“KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN MADARASAH”

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah:
MANAJEMEN MADARASAH






Disusun Oleh:

David Budi Santoso (15512010)

  

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
TAHUN 1436 H/2016 M


KATA PENGANTAR

 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT, karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Kepemimpinan dalam manajemen madarasah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Ust. M. Arfa Ladamay, M.Pd.selaku Dosen mata kuliah Manajemen madarasah Universitas Muhammadiyah Gresik, yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.


Gresik, April 2016


Penyusun



















BAB I
                                                         PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

 Pembicaraan tentang manajemen akhir-akhir ini hangat dibincangkan. Hal tersebut bukan saja merupakan hal baru bagi dunia pendidikan. Sumber daya manusia merupakan unsure aktif dalam penyelenggaraan organisasi. Sedangkan unsur-unsur yang lainnya merupakan unsur pasif yang bisa diubah oleh kreativitas manusia. Dengan pengelolaan (manajemen) yang berkualitas, diharapkan akan dapat mengkondisikan unsur-unsur yang lain agar bisa mencapai tingkat produktifitas suatu organisasi.

Memperbincangkan mengenai lembaga pendidikan yang bernama madrasah, agaknya akan selalu menarik dan tidak ada habis-habisnya. Terlebih yang dibicarakan adalah dari aspek manajemennya. Karena manajemen dalam suatu lembaga apa pun akan sangat diperlukan, bahkan – disadari atau tidak – sebagai prasyarat mutlak untuk tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam lembaga tersebut. Semakin baik manajemen yang diterapkan, semakin besar pula kemungkinan berhasilnya lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Demikian pula sebaliknya.

Realitas di lapangan lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah tingkatproduktifitas masih jauh dari yang diharapkan. Dalam makalah ini akan dibahas sekilas mengenai manajemen madrasah terkait dengan problematika yang ada di dalamnya beserta dan pemecahannya beserta dengan formulasi dalam pengembangan madrasah.[1]


 Rumusan Masalah
1.      Devinisi & Hakikat kepemimpinan
2.      Pendekatan dalam studi kepemimpinan
3.      Fungsi kepemimpinan
4.      Perilaku kepemimpinan managemen madarasah





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi dan Hakikat Kepemimpinan
 Kepemimpinan pada dasarnya berarti kemampuan untuk memimpin; kemampuan untuk menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Menurut Gibson, kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, yang dilakukan melalui hubungan interpersonal dan proses komunikasi untuk mencapai tujuan. Newstrom & Davis berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mengatur dan membantu orang lain agar bekerja dengan benar untuk mencapai tujuan[2]. Sedangkan Stogdill berpendapat bahwa kepemimpinan juga merupakan proses mempengaruhi kegiatan kelompok, dengan maksud untuk mencapai tujuan dan prestasi kerja.
Oleh karena itu, kepemimpinan dapat dipandang dari pengaruh interpersonal dengan memanfaatkan situasi dan pengarahan melalui suatu proses komunikasi ke arah tercapainya tujuan khusus atau tujuan lainnya. Pernyataan ini mengandung makna bahwa kepemimpinan terdiri dari dua hal yakni proses dan properti. Proses dari kepemimpinan adalah penggunaan pengaruh secara tidak memaksa, untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan dari para anggota yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Properti dimaksudkan, bahwa kepemimpinan memiliki sekelompok kualitas dan atau karakteristik dari atribut-atribut yang dirasakan serta mampu mempengaruhi keberhasilan pegawai. [2]
Menurut Purwanto (2004:24), dapat dikemukakan bahwa terdapat tiga teori kepemimpinan ditinjau dari sejarah perkembangannya, yaitu;
a.       Konsep yang menganggap bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan yang berupa sifat-sifat yang dibawa sejak lahir yang ada dalam diri seorang pemimpin
b.      Konsep yang lebih modern, yaitu konsep yang memandang kepemimpinan sebagai fungsi kelompok, yang sukses tidaknya suatu organisasi tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan atau sifat-sifat yang ada pada seseorang, namun lebih mengutamakan sifat-sifat maupun cirri-ciri kelompok  yang dipengaruhinya.
c.       Konsep yang lebih maju lagi, yaitu konsep yang tidak hanya didasari oleh pandangan psikologis dan sosiologis, tetapi juga atas konsep ekonomis dan politis[3]

B.     Pendekatan Studi Kepemimpinan
Oleh Fred E. Fiedler dan Martin M. Chamars, dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Leadership in Effectives Management dikemukakan bahwa persoalan utama kepemimpinan secara besar dapat dibagi tiga pertanyaan pokok, yaitu : (a) bagaimana seorang dapat menjadi seorang pemimpin (how one become a leader); (b) bagaimana para pemimpin itu berperilaku (how leader behave effective); (c) apa yang membuat pemimpin itu berhasil (what makes the leader effective). Sehubungan dengan masalah diatas studi kepemimpinan dibagi kedalam beberapa pendekatan dalam arti upaya untuk menjawab atau memberi pemecahan pada tiga pertanyaan diatas. 

Hampir seluruh penelitian kepemimpinan dapat dikelompokkan ke dalam empat macam pendekatan, yaitu pendekatan pengaruh kewibawaan, sifat, perilaku, dan situasional.

a.
Pendekatan menurut pengaruh kewibawaan (power influence approach) 

            Menurut pendekatan ini keberhasilan pemimpin dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada pemimpin, dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin menggunakan kewibawaan tersebut. Pendekatan ini menekan proses sifat timbal balik, proses saling mempengaruhi dan pentingnya pertukaran hubungan kerjasama antara para pemimpin dengan bawahan .

Berdasarkan hasil penelitian French dan Reven dalam Wahjosumidjo (2010: 20) terdapat pengelompokan sumber darimana kewibawaan tersebut berasal, yaitu : 

1. Reward power: bawahan mengerjakan suatu agar memperoleh penghargaan yang dimiliki
oleh pemimpin .

2. Coersive Power: bawahan mengerjakan sesuatu agar dapat terhindar dari hukuman yang
dimiliki oleh pemimpin

3. Legitimate Power: bawahan melakukan sesuatu karena pimpinan memiliki kekuasaan untuk memerintah bawahan dan bawahan mempunyai kewajiban untuk menurut atau mematuhi.

4. Expert Power: bawahan mengerjakan sesuatu karena bawahan percaya bahwa pimpinan memiliki pengetahuan khusus dan keahlian serta mengetahui apa yang diperlukan.

5. Referent Power: bawahan melakukan sesuatu karena bawahan merasa kagum terhadap pimpinan atau membutuhkan untuk menerima restu pimpinan dan mau berperilaku pula seperti pimpinan. 

             Kewibawaan merupakan keunggulan, kelebihan atau pengaruh yang dimiliki oleh kepala sekolah, kewibawaan kepala sekolah dapat mempengaruhi bawahan, bahkan menggerakkan memberdaya segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sekolah sesuai dengan keinginan kepala sekolah.
Berdasarkan pendekatan pengaruh kewibawaan, seorang kepala sekolah dimungkinkan untuk menggunakan pengaruh yang dimilikinya dalam membina, memberdayakan, dan memberi teladan terhadap guru sebagai bawahan. Legitimate dan coersive power memungkinkan kepala sekolah dapat melakukan pembinaan terhadap guru, sebab dengan kekuasaan dan memerintah dan memberi hukuman, pembinaan terhadap guru akan lebih mudah dilakukan.

b. Pendekatan Sifat (the treat approach) 

               Pendekatan ini menekan pada kualitas pimpinan keberhasilan pimpinan ditandai oleh daya kecakapan luar biasa yang dimiliki oleh pimpinan seperti (1)tidak kenal tidak lelah atau penuh energi; (2) intuisi yang tajam; (3) tinjauan ke masa depan yang tidak sempit; dan (4) kecakapan meyakinkan yang sangat menarik.

              
Menurut pendekatan sifat, seseorang menjadi pimpinan karena sifat-sifatnya dibawa sejak lahir, bukan karena dibuat atau dilatih. Seperti dikatakan oleh Thierevt dalam Purwanto (1997 : 37) : “the heredity appoach status that leaders are born and note made that leaders do not acquire the ability to lead, but in here it” yang artinya pimpinan adalah dilahirkan bukan dibuat, bahwa pimpinan tidak dapat memperoleh kemampuan untuk memimpin, tetapi mewarisinya. Selanjutnya, Stogdell dalam Sutisna (1985 : 67) mengemukakan bahwa seseorang tidak menjadi pemimpin dikarenakan memulai suatu kombinasi sifat-sifat kepribadian, tapi pola sifat-sifat pribadi pemimpin itu mesti menunjukkan hubungan terkata dengan sifat, kegiatan, dan tujuan daripada pengikutnya. 

             Berdasarkan pendekatan sifat, keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadi melainkan ditentukan oleh kecakapan/keterampilan (skill) pribadi pemimpin.
Hal ini sejalan dengan pendapat Yukl (1981 : 16) yang menyatakan bahwa sifat-sifat pribadi dan keterampilan seorang pemimpin berperan dalam keberhasilan seorang pemimpin.

c. Pendekatan Perilaku (the behavior approach) 

             Pendekatan perilaku menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati atau dilakukan oleh para pemimpin dari sifat pribadi atau sumber kewibawaan yang dimilikinya. Oleh sebab itu, pendekatan perilaku itu mempergunakan acuan seperti pribadi dan kewibawaan. Sifat-sifat pribadi, (a) kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi ; (b) selalu siap terhadap lingkungan sosial ; (c) berorientasi kepada cita-cita keberhasilan; (d) tegas ; (e) kerjasama ; dan (f) percaya diri. 

d.
Pendekatan Kontigen (Continngenceapproach) 

             Pendekatan kontengensi menekakankan pada ciri-ciri pribadi pemimpin dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk mengukur dan memperkirakan ciri-ciri pribadi ini, dan membantu pemimpin dengan garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang didasarkan pada kombinasi dari kemungkinan yang bersifat kepribadian dan situasional (Hasibuan, 1986 : 45).

             Teori kontingensi bukan hanya merupakan hal yang penting bagi kompleksitas yang bersifat interaktif dan fenomena kepemimpinan, tetapi membantu pula para pemimpin yang potensial dengan konsep-konsep yang berguna untuk menilai situasi yang bermacam-macam dan untuk menunjukkan perilaku kepemimpinan yang tepat dan berdasarkan situasi.

             Dalam kaitan ini Sutisna menyatakan bahwa “kepemimpinan ; adalah hasil dari hubungan-hubungan dalam situasi sosial dan dalam situasi berbeda para pemimpin memperlihatkan sifat pribadinya yang berlainan.
Jadi pemimpin dalam situasi yang satu mungkin tidak sama dengan tipe pemimpin dalam situasi yang lain sementara Fattah (2001: 17) berpandangan bahwa keefektifan kepemimpinan bergantung pada kecocokan antara pribadi, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi.[4]
C.  Fungsi Kepemimpinan
Fungsi – fungsi kepemimpinan adalah sebagai berikut :

1. Fungsi Perencanaan

Seorang pemimpin perlu membuat perencanaan yang menyeluruh bagi organisasi dan bagi diri sendiri selaku penanggung jawab tercapainya tujuan organisasi. Manfaat – manfaat tersebut antara lain :

a. Perencanaan merupakan hasil pemikiran dan analisa situasi dalam pekerjaanuntuk memutuskan apa yang akan dilakukan

b. Perencanaan berarti pemikiran jauh ke depan disertai keputusan – keputusan yang berdasarkan atas fakta – fakta yang diketahui

c. Perencanaan berarti proyeksi atau penempatan diri ke situasi pekerjaan yang akan dilakukan dan tujuan atau target yang akan dicapai.

Perencanaan meliputi dua hal, yaitu :

a. Perencanaan tidak tertulis yang akan digunakan dalam jangka pendek, pada keadaan darurat, dan kegiatan yang bersifat terus menerus.

b. Perencanaan tertulis yang akan digunakan untuk menentukan kkegiatan – kegiatan yang akan dilakukan atas dasar jangka panjang dan menentukan prosedur – prosedur yang diperlukan



Setiap rencana yang baik akan berisi :
a. Maksud dan tujuan yang tetap dan dapat dipahami
b. Penggunaan sumber – sumber enam M secara tepat
c. Cara dan prosedur untuk mencapai tujuan tersebut[5]
D.    Perilaku kepemimpinan managemen madarasah

Seorang pemimpin seyogyanya memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat diperoleh dari pengamatan belajar secara teori maupun dari pengalaman dalam praktik selama menjadi pemimpin.
Kepemimpinan seseorang dapat digolongkan kedalam salah satu tipe dan mungkin setiap tipe memiliki berbagai macam gaya kepemimpinan. Salah seorang pemimpin yang memiliki salah satu tipe bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi dalam melaksanakan kepemimpinannya. Kartini Karno (2011: 69) membagi tipe kepemimpinan sebagai berikut:
1.        Tipe Kepemimpinan Kharismatis
Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Kepemimpinan kharismatik dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang Maha Kuasa. Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan daya tarik yang amat besar. Dalam kepemimpinan ini seorang kepala sekolah harus memiliki kharisma yang baik untuk menggerakkan bawahannya supaya manajemen sekolah berfungsi dengan baik.
2.        Tipe Kepemimpinan Paternalistis
Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang kebapakan dengan sifat-sifat sebagai berikut:
(1) mereka menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, (2) mereka bersikap selalu melindungi,(3) mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri,(4) mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif,(5) mereka memberikan atau hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri,(6) selalu bersikap maha tahu dan maha benar.
3.        Tipe Kepemimpinan Militeristik
Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter. Adapun sifat-sifat dari tipe kepemimpinan militeristik adalah:
(1) lebih banyak menggunakan sistem perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana, (2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3) sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang berlebihan, (4) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya, (5) tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi hanya berlangsung searah.
Jadi dalam kepemimpinan militeristik seorang kepala sekolah menggerakkan bawahannya secara perintah komando dan otoriter yang harus dituruti oleh bawahannya.
4.        Tipe Partisipatif
Gaya kepemimpinan ini dipakai oleh mereka yang percaya bahwa cara untuk memotivasi orang-orang adalahdengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini diharapkan akan menciptkan rasa memiliki sasaran dan tujuan bersama
5.        Tipe Kepemimpinan Otokratis (Outhoritative, Dominator)
Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: (1) mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal,  (3) berambisi untuk merajai situasi, (4) setiap perintah dan kebijakan selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap eksklusivisme, (8) selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku, (10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka patuh.
Dalam kepemimpinan otokratis seorang kepala sekolah memimpin bawahannya berdasarkan keputusan sendiri yang harus segera dilaksanakan oleh semua warga sekolah.


6.        Tipe Kepemimpinan Laissez Faire
Pada tipe kepemimpinan ini praktis pemimpin tidak memimpin, dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggungjawab harus dilakukan oleh bawahannya sendiri. Pemimpin hanya berfungsi sebagai simbol, tidak memiliki keterampilan teknis, tidak mempunyai wibawa, tidak bisa mengontrol anak buah, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, tidak mampu menciptakan suasana kerja yang kooperatif. Kedudukan sebagai pemimpin biasanya diperoleh dengan cara penyogokan, suapan atau karena sistem nepotisme. Oleh karena itu organisasi yang dipimpinnya biasanya morat marit dan kacau balau. Tipe kepemimpinan ini biasanya tidak baik diterapkan dalam lingkungan sekolah
7.        Tipe Kepemimpinan Administratif/Eksekutif
Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokrat-teknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu dapat tercipta sistem administrasi dan birokrasi yang efisien dalam pemerintahan. Pada tipe kepemimpinan ini diharapkan adanya perkembangan teknis yaitu teknologi, indutri, manajemen modern dan perkembangan sosial ditengah masyarakat.[6]






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk memengaruhi perilaku orang lain dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan memengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. Menurut Stoner, semakin banyak jumlah sumber kekuasaan yang tersedia bagi pemimpin, akan makin besar potensi kepemimpinan yang efektif (Fattah, 2004: 88).
Kepemimpinan dalam penerapan manajemen sekolah memerlukan dua keterampilan yaitu keterampilan memimpin dan keterampilan mengelola (kepemimpinan dan manajerial). Perilaku kepemimpinan dalam melaksanakan keterampilan ini memegang peranan yang sangat penting untuk untuk meningkatkan kualitas sekolah. Perilaku kepemimpinan yang positif dan mendukung terhadap penerapan manajemen kepala sekolah akan lebih mencapai keberhasilan.
Kepemimpinan manajemen kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas sekolah perlu diterapkan tipe-tipe kepemimpinan yang ideal seperti: Tipe Kepemimpinan Kharismatis, paternalistik, militeristik, partisipatif, administratif, laissez-faire, otokratis, demokratis.










DAFTAR PUSTAKA
Imam Suprayogo, 1999, Revormulasi Visi Pendidikan Islam, Malang: Stain Press, cet. I, Hal. 161Yuslem Nawir,2015. Ulumul Hadist : Jakarta.PT. Mutiara Sumber Widya,
 Fattah, Nanang. 2004.  Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Purwanto, Ngalim. 2004. Administrasi dan Supervisi Pendidikan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya



[1] dian-mutiarasari, MANAJEMEN MADRASAH, http://dian-mutiarasari.blogspot.co.id/2012/05/makalah-manajemen-madrasah.html, pada tanggal 15 april 2016, pukul 13.55 wib
[2] afifulikhwan, KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH,  http://afifulikhwan.blogspot.co.id/2011/11/kepemimpinan-kepala-madrasah-dalam.html , pada tanggal 15 april 2016, pukul 14.55 wib

[3] NURISAARIYANTO, Kepemimpinan : Definisi, Hakikat, Konsep dan Dimensi,  http://nurisaariyanto.blogspot.co.id/2014/07/kepemimpinan-definisi-hakikat-konsep.html .Pada  tanggal 19 april 2016, pukul 14.55 wib



[4] Ricoadam, Kepemimpinan dan Pendekatan Studi Kepemimpinan, http://ricoadam-noah.blogspot.co.id/2013/01/kepemimpinan-dan-pendekatan-studi.html.Pada  tanggal 19 april 2016, pukul 22.23. wib

[5] Aynul, fungsi kepemimpinan, http://kepemimpinan-fisipuh.blogspot.co.id/2009/03/fungsi-kepemimpinan.html.Pada  tanggal 19 april 2016, pukul 23.23. wib

[6] Pakcosma, MAKALAH MANAJEMEN KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH/ SEKOLAH, http://tsur4yy4.blogspot.co.id/2016/03/makalah-manajemen-kepemimpinan-kepala.html.Pada  tanggal 23 april 2016, pukul 19.34. wib

Kamis, 21 April 2016

Aliran Murji'ah

A.  Sejarah munculnya aliran Murji’ah

Murji’ah berasal dari kata al-irja atau arja’a. Arja’a yang berarti meng-harap. Karena keterlaluan mengharap, mereka tidak segan melakukan apa saja. Hal itu disebabkan karena mereka mempunyai harapan untuk diampuni dan dimaafkan oleh Allah.[[1]]
Al-irja berarti penangguhan. Artinya menangguhkan kasus seseorang yang melakukan dosa besar hingga hari kiamat.[[2]] Contoh orang-orang disini ialah Ali dan Muawiyah beserta pasukannya masing-masing.
Ada dua permasalahan munculnya aliran Murji’ah, yaitu:
Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain.
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.
Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.
Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang  tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.
Dinamakan Murji’ah karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang hukum orang Mukmin yang berdosa besar dan belum bertaubat sampai matinya, orang itu belum dapat dihukum sekarang. Ketentuan persoalannya ditunda atau dikembalikan kepada Allah SWT. di hari akhir nanti.
B.  Pokok-pokok ajaran Murji’ah
          Murjiah muncul dengan pendapatnya bahwa dosa tidak merusak keimanan, sebagaimana ketaatan tidak memberi manfaat bagi orang yang kafir.[[3]]
Aliran Murji’ah membahas tentang batasan pengertian “Iman”.
          Menurut Ahlus Sunnah bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur, yaitu membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan menyertainya dengan amal perbuatan seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Sedangkan kebanyakan golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun lahirnya menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan, itu bukan bagian dari iman.
          Kemudian sebagian dari golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua unsur, yaitu membenarkan dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan. Membenarkan dengan hati saja tidak cukup, dan mengikrarkan dengan lisan saja pun tidak cukup, tetapi harus dengan bersama kedua-duanya, supaya seseorang menjadi mukmin. Karena orang yang membenarkan dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan tidak dinamakan mukmin.
          Gassan al-Kufi (tokoh Murji’ah) beranggapan bahwa “iman adalah mengenal Allah dan Rasul-Nya, serta mengakui apa-apa yang telah diturunkan Allah, dan yang dibawa oleh Rasul-Nya. Karenanya, iman itu tidak dapat bertambah atau berkurang”.[[4]]
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang independen, sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut
1.  Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
2.  Dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Dengan kata lain, kelompok Murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang .
Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu:
1.  Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bin  Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.  Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.  Menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
4. Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sedangkan doktrin pemikiran Murji’ah yang lain, seperti batasan kufur, para pengikut Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Secara garis besar pemikiran dapat dijelaskan menurut kelompok Jahamiyah: bahwa kufur merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT.
Pada golongan yang lainnya, menyatakan bahwa kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, misalnya tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT, membenci dan sombong kepadanya, mendustakan Allah dan rasul-Nya sepenuh hati dan secara lisan, begitu pula membangkang terhadap-Nya, mengingkari-Nya, melawan-Nya, menyepelekan Allah dan dan rasulnya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu.
Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati maupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun dengan iman. Mereka beranggapan bahwa seseorang yang membunuh ataupun menyakiti Nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Tetapi, kalau seseorang mengahalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya diapun disebut kufur[[5]].

C. Tokoh aliran murji’ah
Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin 'Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (dipelopori Hasan bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Tholib) dan kelompok ekstrem (dipelopori Jaham bin Shofwan).
D.  Sekte-sekte Murji’ah
Al-Syahrastani membagi kelompok-kelompok Murji’ah yang dikutip watt. Farly islam hal (181) yaitu sebagai berikut:
1.    Murji’ah Khawarij
Murji’ah Khawarij adalah kelompok yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar.
2.    Murji’ah qadariyah
Murji’ah qadariyah adalah orang-orang yang dipimpin oleh Ghilan Ad-Damsyiki sebutan mereka Al-Ghilaniah.
3.    Murji’ah jabariyah
Murji’ah jabbariyah adalah jahmiyyah (para pengikut Jahm Ibn Shafwan), mereka hanya mencukupkan diri dengan keyakinan dalam hati sajadan menurut mereka maksiat itu tidak berpengaruh pada iman dan bahwasannya ikrar dengan lisan dan amal bukan dari iman.
4.    Murji’ah murni
Murji’ah murni adalah kelompok yang oleh para ualama diperselisihkan jumlahnya.
5.    Murji’ah sunni
Murj’ah sunni adalah para pengikut Hanafi  termasuk didalamnya adalah Abu Hanifah dan gurunya Hammad Ibn Abi Sulaiman juga orang orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah orang-orang yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.

Sementara itu, Harun Nasution membagi dalam 2 sekte yaitu :
1.    Golongan moderat
Murjiah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir tidak pula kekal di dalam neraka, mereka di siksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-Nya, serta apa saja yang datang darinya secara keseluruhan namun dalam garis besar , iman adalah dalam hal ini tidak bertambah dan berkurang, tokohnya adalah : Al Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Tholib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadist.
2.    Golongan ekstrim
Kelompok ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu :
a.   Al-Jahmiyyah, kelompok Jahm bin Syahwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b.   Shalihiyyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c.   Yunusiyyah dan Ubaidiyyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
d.   Hasaniyyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir.
Pendapat-pendapat ekstrim seperti diuraikan di atas menimbulkan pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan menentukan mukmin atau tidaknya mukminnya seseorang. Perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Karena yang penting ialah iman dalam hati, ucapan dan perbuatan tidak merusak iman.[[6]]
D.  Dasar nash Al-Qur’an Aliran Murji’ah
Dalil yang di ambil dalam mendukung pemikirannya adalah Firman Allah dalam Alquran, Q.S. Az-Zumar : 53
 قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Artinya: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  (Q.S. Az-Zumar : 53)

Nash yang dijadikan keimanan dan kekufuran seluruhnya terletak pada hati adalah:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (Q.S. Al-Mujadalah : 22)

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (Q.S. An-Nahl : 106)
Dalil dari Sunnah mereka berhujjah dengan sebagian hadits dan atsar, yang secara dhahir menunjukkan atas perintah untuk menjauhi syirik dan keberadaan iman  dalam  hati  seseorang untuk menggapai kejayaan dan  keridhaan Allah:
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئا دَخَلَ النَّارَ.   قَالَ إِبْنُ مَسْعُوْدٍ:  وَقُلْتُ أَنَّا مَنْ مَات  لَا يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّة
Artinya:  Barang siapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu maka ia akan masuk neraka”, Ibnu Mas’ud berkata: “Saya katakan: “Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah maka ia masuk Jannah.”
Inilah beberapa dalil yang digunakan oleh kolompok murjiah dalam menguatkan mazhabnya.
E.  Ciri-ciri khusus Aliran Murji’ah
Murji’ah memiliki sekian banyak ciri dan ada beberapa cirri yang paling menonjol, diantaranya sebagai berikut:
1.        Mereka berpendapat, iman hanya sebatas penetapan dengan lisan, atau sebatas pembenaran dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran.
2.        Mereka berpendapat, iman tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak terbagi-bagi, orang yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama.
3.        Mereka mengharamkan istitsan` (mengucapkan ‘saya beriman insya Allah) di dalam iman.
4.        Mereka berpendapat, orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram (dosa dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya.
5.        Mereka membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati.
6.        Mereka mensifati amal-amal kekufuran yang tidak membawa melainkan kepada kekufuran, seperti menghina dan mencela (Allah, Rasul-Nya, maupun syari’at Islam); bahwa hal itu bukanlah suatu kekufuran, tetapi hal itu menunjukkan pendustaan yang ada dalam hati.

G.   Pendapat ulama’ tentang Aliran Murji’ah
Para ulama sepanjang masa telah menetapkan, bahwasanya Murji’ah merupakan kelompok bid’ah yang sesat. Mereka pun melakukan pengingkaran dan membantah kelompok ini. Di antara para kelompok ini ialah sebagai berikut:
1. ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul-Muthalib (wafat 68 H). Beliau Radhiyallahu ‘anhu mengingatkan, “Berhati-hatilah dengan (pemikiran) Irja’, karena ia merupakan cabang dari pemikiran Nashrani.”
2. Ibrahim bin Yazid bin Qa-is an-Nakha-I rahimahullah (wafat 96H) berkata, “Menurutku, sesungguhnya fitnah mereka (Murji’ah) lebih aku takutkan atas umat ini daripada fitnah al-Azariqah.”
3. Muhammad bin Muslim az-Zuhri rahimahullah (wafat 125 H) berkata, “Tidak ada satu perbuatan bid’ah dalam Islam yang lebih berbahaya bagi pemeluknya (kaum Muslimin) dari bid’ah ini, yaitu Al-Irja’.”
4. Yahya bin Sa’id al-Anshari (wafat 144 H) dan Qatadah (wafat 113 H), sebagaimana dikatakan oleh al-Auza-I rahimahullah, bahwa mere berdua mengatakan: “Menurut pendapat mereka, tidak ada perbuatan bid’ah yang lebih ditakutkan atas umat ini dari Al-Irja’.”
5. Manshur bin al-Mu’tamir as-Sulami (wafat 132 H) brkata; “Aku tidak berpendapat seperti pendapat Murji’ah yang sesat dan bid’ah.”
6. Lajnah ad-Da-imah lil-Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta, di dalam fatwa no. 21436, tertanggal 8 Rabi’uts-Tsani 1421 H menyebutkan tenteng fenomena pemikiran Murji`ah pada zaman ini. Dalam fatwa tersebut dikatakan: "Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran ini (Murji`ah) adalah kebatilan dan kesesatan yang nyata, menyelisihi al-Qur`ân, Sunnah dan ijma' Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, sejak dahulu sampai sekarang.’’[[7]]


H. Analisa
Pokok ajaran Murji’ah yaitu bahwa mereka lebih mengedepankan iman dari pada amal.  Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
Kemudian efek, bahaya atau pengaruh buruk pemikiran Murji’ah ialah:
1. Sebagai kelompok yang mengusung pemikiran bid'ah, maka jika Murji`ah masuk ke dalam 'aqidah kaum Muslimin, ia dapat memporak-porandakan kesatuan umat. Sebab, suatu perbuatan bid'ah jika muncul dan berkembang, ia akan memicu permusuhan dan kebencian di antara kaum Muslim.
2. Munculnya pemikiran Murji'ah ini telah menyebabkan banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang, sehingga menjadi penyebab hilangnya syari'at. Pemikiran mereka juga telah merusak keindahan Islam, sehingga menjadi penyebab manusia berpaling dan tidak mengagungkan syari'at Allah.
3. Mereka telah berdusta atas nama Allah dan memiliki pemikiran yang telah dicela oleh seluruh ulama. Imam al-Ajuri (wafat 360H) berkata,"Barangsiapa yang memiliki pemikiran seperti ini (Irja`), maka ia telah berdusta atas nama Allah dan membawa lawannya kebenaran serta sesuatu yang sangat diingkari seluruh ulama, karena yang memiliki pemikiran ini menganggap, seseorang yang telah mengucapkan lâ ilaha illallâh, maka dosa besar dan perbuatan keji yang ia lakukan, sama sekali tidak merusaknya. Menurutnya pula, keberadaan antara orang yang baik dan takwa dengan orang yang fakir adalah sama. Pendapat seperti ini jelas merupakan kemungkaran.
4. Kelompok Murji'ah meyakini bahwa suatu perbuatan (amal) tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sehingga banyak orang menyatakan yang penting "hatinya", dan perbuatan maksiat yang dilakukannya tersebut seakan-akan tidak mempengaruhi keimanan di hatinya.
5. Pemikiran Murji'ah membuka pintu bagi orang-orang yang rusak membuat kerusakan dalam agama, dan merasa tidak terikat dengan perintah dan larangan syari'at. Sehingga akan memperbesar kerusakan dan kemaksiatan di tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya sangat mungkin mereka membuat melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan, dengan alasan bahwa hal itu merupakan amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan imannya menjadi berkurang atau hilang. Na'udzubillâhi minazh-zhalal.
7. Menghilangkan unsur jihad fi sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar. Bukti atau dalilnya mana? Perlu ada penjelasan.
8. Kaum Murji'ah menyamakan antara orang yang shalih dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas agama Allah dengan orang yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak mempengaruhi keimanan.



[1] . Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 71
[2] . Muhammad ibn ‘Abd Al-karim, Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), hlm. 215

[3] . Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 143

[4] . Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 152-156
[5] . aftanet, Munculnya kaum murjiah ekstrim dan moderet, http://aftanet.blogspot.com/2011/06/munculnya-kaum-murjiah-ekstrim-dan.html diakses tanggal 30 September 2015.

[6] .STAIN pekalongan,makalah tentang aliran murji’ah, www.amarstain.blogspot.com, di akses tanggal 30 September 2015
[7] . Kholid Syamhudi, Pengaruh Buruk Pemikiran Murji'ah, 2008, http://almanhaj.or.id/ diakses tanggal 18 N0vember 2013